“SEKOLAH DASAR” BUKAN LAGI “TAMAN” TETAPI BERPOTENSI MENJADI “HUTAN RIMBA”
Oleh : Raden Ridwan Hasan Saputra
Penulis adalah Wakil Ketua Korps Menwa IPB, Pendiri dan Presiden Direktur Klinik Pendidikan MIPA (KPM) dan pelatih Olimpiade Matematika Internasional.
Bogorplus.com – Ada sebuah berita sangat memprihatinkan berdasarkan berita dari
Detiknews (28/9/2015). Diberitakan seorang siswi dari Aceh Besar yang
masih duduk di kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah meninggal dunia akibat
dikeroyok oleh 6 orang teman laki-lakinya. Kejadian ini sulit diterima
oleh akal sehat bagi kita yang pernah bersekolah SD di era tahun 80-an
ke bawah. Kejadian-kejadian yang sudah dalam kategori tidak wajar dalam
hal yang negatif sudah banyak terjadi di kalangan anak SD saat ini,
seperti pembunuhan, pencabulan, narkoba, tawuran dll. Sudah jadi bukti nyata
bahwa Sekolah Dasar saat ini banyak yang sudah bukan menjadi taman
tempat anak-anak bermain, seperti yang diisyaratkan oleh Ki Hajar
Dewantara. Sekolah Dasar saat ini seperti hutan rimba, dimana anak bisa
belajar hal-hal yang negatif dari mulai bahasa yang kasar dan tindakan
yang brutal, yang akhirnya bahasa dan tindakan tersebut bisa menjadikan anak sebagai pemangsa atau dimangsa oleh anak yang lain.
Kita tidak bisa bayangkan hal negatif apa yang akan mereka lakukan ketika mereka di SMP, SMA, Perguruan Tinggi dan setelah menjadi orang tua. Sebab hal-hal negatif yang
mereka lakukan di waktu SD sama sekali tidak pernah terbayangkan akan
dilakukan oleh anak SD. Oleh karena itu harus dicari penyebab dan
diberikan solusi agar kejadian-kejadian negatif tersebut tidak terjadi
lagi. Berikut ini saya sampaikan penyebab dan solusi dari masalah di
atas berdasarkan pengalaman, pengamatan dan perenungan yang saya lakukan
sebagai orang yang sering berkecimpung di dunia SD khususnya dalam
bidang Matematika.
Pendidikan di Indonesia saat ini lebih fokus pada Pengetahuan (Ilmu) bukan Adab atau Budi Pekerti
Ketika
saya di bangku Sekolah Dasar, Hal yang lebih sering dipelajari di kelas
oleh murid-murid adalah bagaimana seorang murid menghormati guru,
berbuat baik dengan teman, memelihara kebersihan, mengantri dll yang
lebih pada pembentukan budi pekerti. Saya masih ingat ketika di SD,
sebelum masuk kelas harus berbaris terlebih dahulu di luar kelas,
kemudian masuk satu persatu ke dalam kelas dan mencium tangan guru.
Setiap minggu ibu guru atau bapak guru selalu memeriksa kuku-kuku
siswanya dan banyak anak yang tangannya dipukul menggunakan penggaris
karena lupa menggunting kuku. Pada waktu itu banyak anak SD yang ketika masuk SD tidak
bisa membaca dan menulis. Sekolah SD pada waktu itu, mempunyai tempat
yang luas untuk bermain berbagai aneka macam permainan. Sehingga dalam
pemikiran saya waktu itu, ke sekolah adalah untuk bermain bersama
teman-teman, belajar adalah nomor dua. Pada masa itu pun, ibu guru atau
bapak guru lebih suka anak yang mempunyai budi pekerti yang baik dan lebih disukai lagi anak yang mempunya budi pekerti yang baik dan rajin belajar. Sehingga
kami sebagai muridnya berlomba-lomba untuk menjadi anak yang mempunyai
budi pekerti yang baik dan rajin belajar setelah bermain seharian penuh.
Pada
masa sekarang ilmu lebih penting dari pada adab atau budi pekerti.
Siswa SD saat ini sudah disibukkan dengan mengikuti berbagai kursus dari
mulai kursus matematika, kursus bahasa inggris, kursus musik dll.
Kegiatan anak-anak SD saat ini kebanyakan hanya belajar, belajar dan
belajar. Jika ada waktu bermain, yang dilakukan adalah bermain game komputer atau online. Jarang sekali bermain yang dilakukan dengan cara berinterakasi, bersenda gurau dengan teman sebayanya. Saat ini banyak orang tua yang menganggap teman anaknya adalah saingan anaknya dalam meraih prestasi. Sehingga
interaksi yang terjadi sudah tidak dalam pertemanan tetapi persaingan.
Kondisi ini membuat anak lupa sopan santun, tata krama dan budi pekerti.
Solusi yang dilakukan adalah merubah kurikulum pendidikan nasional
untuk Sekolah Dasar, yang awalnya lebih pada target penguasaan ilmu
menjadi target internalisasi adab atau budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari.
Di Sekolah Dasar lebih banyak praktek penerapakan budi pekerti yang
baik daripada belajar materi pelajaran matematika, komputer, IPA dan
bahasa asing. Oleh karena itu, di SD tidak boleh ada anak yang tidak
naik kelas selama anak tersebut mempunyai adab atau budi pekerti yang
baik.
Mayoritas kualitas Guru SD masih memprihatinkan
Saya
adalah Pelatih Nasional Olimpiade Matematika untuk SD dan SMP. Jabatan
ini telah membuat saya mempunyai tugas tambahan yaitu melatih guru
tentang matematika khususnya di tingkat SD. Sudah belasan ribu guru dari
berbagai wilayah di Indoenesia yang saya latih dalam kurun waktu 12
tahun. Banyak hal yang memprihatinkan tentang guru-guru SD saat ini
berdasarkan pengalaman saya melatih. Hal yang memprihatinkan ini dari
sisi kecerdasan intelektualnya, motivasinya menjadi guru dan mentalnya sebagai seorang guru.
keprihatinan saya ini, sebagian sudah terbukti sesuai dengan informasi
yang disampaikan oleh Direktur Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan
Kemendikbud Sumarna Surapranata, sebagaimana yang diberitakan situs
kemdikbud.go.id (9/10/2015). Beliau menyampaikan pemerintah telah
memiliki potret Uji Kompetensi Guru (UKG) terhadap 1,6 juta guru. Dari
jumlah tersebut menurut beliau, hanya 192 orang yang kompetensinya di
atas 90 dan rata-rata nilai UKG nya 4,7. Berdasarakan informasi tersebut
kondisi guru Indonesia sangat memprihatinkan dan hampir dipastikan
kualitas terparah ada di guru SD. Sehingga sangatlah wajar jika semakin
hari kualitas dan prilaku anak-anak SD semakin banyak yang tidak karuan,
karena kualitas guru-guru yang kategorinya memprihatinkan dan banyak
tersebar di seluruh indonesia.
Solusi yang harus dilakukan menurut saya adalah dengan memfokuskan pembinaan mental, budi pekerti dan penanaman keimanan sesuai agama masing-masing kepada guru-guru SD yang
ada saat ini. Hal ini agar guru-guru SD bisa mempunyai motivasi yang
baik dalam menjalankan profesinya sebagai guru dan bisa mempunyai mental
yang cocok sebagai seorang guru. Perubahan motivasi dan perilaku guru
dalam mengajar akan sangat mendukung proses internalisasi adab dan budi
pekerti kepada siswa dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu secara
bertahap pemerintah harus mengganti guru-guru yang mulai pensiun dengan
orang-orang muda potensial yang bukan lulusan nonkependidikan yang
mempunyai kemampuan yang bagus. Orang-orang muda potensial ini harus
diutamakan untuk mengajar di daerah (3T) Terdepan, Terluar dan
Tertinggal. Guru-guru potensial yang mengajar di daerah (3T) harus
diberi gaji yang sangat memadai dan jauh lebih besar dari guru-guru
biasanya.
Pengaruh “sinetron-sinetron” (tayangan) TV yang merusak generasi muda
Pendapat
ini tentulah akan disetujui oleh banyak pihak, karena tayangan TV
selama ini terutama sinetron-sinetronya telah memberi andil yang
sangat besar dalam kerusakan moral anak bangsa. Saat ini para pemilik
TV banyak mengejar rating demi mengumpulkan banyak keuntungan materi
walaupun harus mengorbankan generasi muda. Tayangan-tayangan yang kurang
baik di TV membentuk suatu kebiasaan baru dan akhirnya budaya baru yang
tidak baik di masyarakat yang sebelumnya tidak ada. Budaya buruk ini
menjadi suatu karakter bagi anak-anak yang belum mempunyai filter yang
kuat untuk memilih hal yang baik atau yang buruk.
Solusi
yang saya diberikan pemerintah harus melakukan pengawasan ketat
terhadap tayangan TV di Indonesia dan langsung menghentikan ijin TV-TV
yang melakukan siaran yang melanggar aturan yang berlaku. Pemerintah
tidak perlu mengkhawatirkan akan berkurangnya pemasukan dari pajak yang
biasa diberikan oleh perusahaan-perusahaan yang mengelola TV, karena
pemerintah bisa memberikan ijin baru kepada perusahaan TV yang mau
mengikuti aturan pemerintah. Sudah saatnya pemerintah memiliki stasiun TV yang tidak hanya TVRI.
Pemerintah bisa membuat stasiun TV – Stasiun TV yang menjangkau segmen
pasar yang berbeda tetapi mempunyai misi yang sama yaitu menjadikan
Tontonan sebagai Tuntunan. Selain media TV pemerintah juga harus
memperhatikan media online yang sudah begitu mudah di akses langsung
dalam genggaman tangan anak-anak melalui gadget.
Orang tua masih ada yang kurang peduli dengan pendidikan
Saat
ini banyak orang tua yang menganggap dengan mensekolahkan anaknya ke
sekolah favorit dan beranggapan berarti urusan pendidikan sudah selesai.
Kebanyakan orang tua juga ingin anaknya diperlakukan dengan baik, tidak
boleh dimarahi dan tidak boleh dihukum. Sehingga tidak jarang ketika
guru memarahi murid, yang terjadi adalah orang tua datang ke sekolah dan
memarahi balik guru. Hal ini menyebabkan sekolah menjadi kehilangan ruhnya sebagai lembaga
pendidikan. Jika orang tua peduli pendidikan maka orang tua harus
mendukung pihak sekolah dan guru ketika guru memberi hukuman kepada
anaknya. Di jaman saya dulu ketika ada anak dimarahi guru, kemudian
orang tuanya tahu, biasanya yang terjadi adalah orang tua tersebut
memarahi anaknya dan orang tua tersebut datang ke sekolah untuk meminta
maaf kepada guru. Kejadian terbalik pada saat ini bisa jadi karena mulai
kurang wibawa guru dikarenakan kualitas guru saat ini seperti yang saya
ceritakan sebelumnya.
Solusi yang saya tawarkan untuk masalah ini adalah membuat program dimana orang tua mengajar di kelas atau masuk ke dalam kelas untuk membantu guru mengajar di kelas.
Hal ini agar orang tua paham betapa sulitnya menjadi guru sehingga
timbul rasa hormat orang tua kepada guru. Hal ini pun akan memotivasi
guru untuk terus meningkatkan kemampuannya agar bisa menjadi guru yang
disegani oleh orang tua dan muridnya, karena punya banyak ilmu dan adab
yang baik. Program ini sangat mungkin diterapkan di tingkat sekolah
Dasar.
Pengaruh para “oknum pejabat” yang mempertontonkan hal yang kurang mendidik
Di
era keterbukaan informasi saat ini, hampir setiap hari masyarakat
disuguhkan oleh tayangan di TV atau media sosial dimana para pejabat
saling mencaci dan saling menyalahkan ketika menghadapi suatu masalah.
Perilaku-perilaku yang tidak baik dari para pejabat yang tidak korupsi
pun banyak diekspos. Sehingga banyak orang berpikir tenyata berbicara
kasar atau berperilaku tidak baik asal tidak korupsi jauh lebih baik dan
akan menjadi orang sukses. Cara berpikir seperti ini sudah mulai
tertanan di kalangan generasi muda, sampai ke level anak SD. Sehingga
tidak jarang kita mendengar anak-anak SD sudah terbiasa dengan
bahasa-bahasa kasar dan perilaku negatif yang seperti telah diceritakan
sebelumnya.
Solusi
yang saya berikan, sebaiknya seseorang yang akan menjadi pejabat publik
seperti kepala daerah dan anggota Dewan harus mengikuti penataran
sejenis P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) jaman dahulu.
Setelah itu mereka harus lulus screening dan pemeriksaan fisik seperti
halnya orang-orang yang ingin masuk tentara atau polisi. Hal ini perlu
dilakukan jika kita ingin mempunyai generasi muda yang terpelihara
mental, sikap dan perilakunya. Di alam demokrasi, memang manusia bebas
melakukan apa saja, tetapi di negara yang berdasarkan pancasila
kebebasan itu ada batasnya. Jangan sampai kebebasan mengorbankan masa
depan bangsa.
Penutup
Membuat Sekolah Dasar kembali menjadi "Taman"
perlu dukungan semua pihak. Dimulai dari guru, lingkungan sekolah,
orang tua siswa dan pemerintah. Belum ada kata terlambat untuk
memperbaiki keadaan jika kita mulai dari sekarang. Jika tidak ada aksi
nyata maka sekolah-sekolah dasar yang ada saat ini mayoritas akan
menjadi hutan rimba belantara yang menghasilkan raja rimba yang memakan
banyak korban. Sehingga kita hanya tinggal menunggu antrian
kejadian-kejadian yang memilukan yang belum terjadi sebelumnya ketika
kita duduk di bangku sekolah dasar.
Bogor, 29 September 2015.
Sumber :
Bogor+