Sabtu, 26 Desember 2015

Catatan Perjalanan Camping ke Pulau Condong

Penulis : Arifah Handayani (Alumni Menwa IPB '95, Founder Smart Parenting With Love Community) 
Catatan perjalanan 1 : Berangkat...!!!
Buat keluarga dengan banyak anak, merencanakan liburan yang murah meriah tapi seru memang jadi tantangan tersendiri. Tetapi ketika anak2 sudah terlatih untuk bisa diajak kemping atau backpackeran dengan akomodasi kelas ekonomi, maka alternatif liburan jadi berkembang.
Salah satu komitmen saya ketika minta ijin anak2 untuk kerja di School of Human, adalah bakal menyisihkan sebagian pendapatan untuk anggaran liburan. Nah, begitu liburan pertama tiba mereka pun menuntut janji.
So, dengan anggaran yang ada kami pun menyusun rencana. Anak2 sepakat memilih pergi ke daerah pantai. Dari sekian pantai yang mungkin dijangkau dengan dana yang ada anak2 mencoret Anyer dan Carita karena dinilai terlalu biasa. Saya mencoret pantai selatan, seperti Pangandaran dan Pelabuhan Ratu karena Angin Barat sudah bertiup, pasti sulit njaga anak2 untuk tetap aman di pantai selatan.
Ayah Akhmad Fauzie usul untuk nyoba ke P. Seribu. Namun based on pengalaman saya ketika masih jadi mahasiswi kelautan, P. Seribu berasa kurang menantang. Kurang sebanding dengan harga yang harus dibayarkan.
Akhirnya saya memberi pilihan untuk nyebrang ke Lampung, di daerah Pasir Putih berjajar deretan pulau, yang dulu adalah tempat liburan favorit alm Mama. Belio telah menambatkan hatinya pada Pulau Condong, hingga sejak saya SMP sampai Mama berpulang di 1996, hampir setiap tahun kami kemping di sana.
Bahkan Pulau Condong ini menyimpan kenangan kemping terakhir kami bersama Mama, hanya beberapa bulan sebelum beliau meninggal. Saya sendiri terakhir ke sana bareng teman2 ITK 31, di tahun 1998, sekitar setahun sebelum menikah.
Maka ketika anak2 ditawari Pulau Condong untuk jadi tujuan liburan kali ini, tanpa banyak ribut mereka pun setuju. Selama Raker School of Human rencana pelan2 disusun, paling sulit pas browsing untuk memilih alternatif transportasi yang nyaman.
Rencana sempat terancam gagal ketika raker hari ketiga saya malah drop sakit. Tapi setelah 36 jam bedrest, alhamdulillah pagi tadi badan mulai kompromi. Bisa diisi makanan dan mampu mandi air dingin. Maka, bismillah kami pun start dari rumah jam satu siang tadi.
Alternatif transportasi yang kami pilih adalah kereta api, demi menghindari macet yang menghabiskan energi. Kereta ke Merak ada Kalimaya dan Krakatau yang standar KA antar propinsi kelas ekonomi AC dengan penumpang tergantung seat, harga tiket 30 ribu rupiah. Lebih murah dari itu ada kereta Patas Merak dengan akomodasi seperti Commuter Line yang harga tiketnya cuma 12 ribu rupiah. Stasiun pemberangkatan Kalimaya dan Krakatau di Tanah Abang, sedang untuk Patas Merak berangkat dari Angke dan Duri. Tentang jadwal keberangkatan dan stasiunnya bisa tanya sama Mbah Gugel.

Turun dari Kalimaya, kami akan lanjut nyebrang pakai Ferry, tiket untuk penumpang non kelas hanya sekitar 15 ribu saja. Kalo bawa mobil, satu mobil bisa kena 300 ribu sekali jalan. So, bersyukurlah para backpacker yang bisa berhemat. Lebih banyak dana sisa berarti bisa pergi lebih jauh atau kemping lebih lama.
So here we are in the middle of no where...
Saat nulis catatan ini kami tengah menembus pekatnya perjalanan antara Rangkas dan Cilegon, perkiraan baru akan sampai Merak sekitar Isya. Perut kami mulai keroncongan, tapi backpacker sejati ga bakal rela makan di restorasi kereta yang terkenal mahal tapi blas ga bikin berselera.
Sabar yaa Nak... Kita cari makan di Pelabuhan sambil liat bagaimana truk, bis dan mobil dimuat ke dalam perut Kapal Ferry. Pasti menarik untuk jadi materi experiential learning...
*On board of Kalimaya, waiting for the full moon to show her face...

Catatan Perjalanan 2 : Berlayar ke Tanah Seberang...
Sungguh tak ada yang lebih menyenangkan dari memuaskan rasa ingin tahu anak2...
Faza fella dan Ghazi baru kali ini diajak naik kapal, walaupun baru sekelas ferry, tapi sesuai dugaan cukup untuk membuat mereka bertanya2 tentang buanyak hal...
Proses bongkar muat mobil dan truk yang biasa saja, tiba2 jadi menarik ketika ada anak2 yang penasaran. Berapa berat jangkarnya, gimana naan supaya kapal ga bergerak pas mobil naik turun, bahkan mekanisme pintu palka yang menganga bikin mereka bertanya2...
Jam 9 malam, kami baru docking di dalam kapal. Dapat ruang lesehan berAC, lumayan untuk berlindung dari angin malam dan asap rokok, cuma nambah 12 ribu per orang. Alhamdulillah, emaknya bisa naruh badan recharge energi. Sementara empat anak menghilang setelah perut mereka kenyang, sepertinya menjelajah kapal yang sudah mulai bergerak...
*written as the ship starts sailing towards the dream island...

Catatan Perjalanan 3 : Pasir Putih
Akhirnya, persis jam 2 dini hari kami mendarat di Pasir Putih Lampung... Setelah 4 jam di kereta, 4 jam di Ferry, 2 jam di mobil tumpangan dan beberapa jam di sana sini ketika transit...
Pulau Condong menjulang di depan mata, di antara cahaya dari bagan2 yang bergerak mengapung, anak2 langsung mencicip bibir pantai yang malam ini mundur lebih jauh ditarik purnama..
Beruntung tadi dapat kenalan di Kereta yang mengajak kami gabung di mobilnya, mereka hanya minta kami share biaya bensin 100 ribu. Semacam nemu Grabcar di lintas Sumatera...
Tinggal beberapa jam lagi, sampai fajar menyingsing. Pantai lengang dan tenang, ditinggal pergi rembulan yang menyembunyikan wajahnya dibalik mendung. Berharap mentari terbit membawa janji langit yang cerah di akhir minggu ini...
Semoga...
*Written as we try to close our eyes and rest our bodies, waiting for the morning glory raising a bit sooner today...

(Catatan terakhir hari ini, seiring gelap menyelimuti Pulau Condong, tanpa satu sumber energipun bisa dipakai ngecharge baterai hape yang makin menipis)

Catatan Perjalanan 5 : Romansa Bumi di Kala Surya Tenggelam

"Deru sang ombak... bersilih ke pantai... disambut alunan nyiur melambai... Rembulan megah di atas mahligai... tersenyum melihat kita berdua..."
~ Sheila Madjid

Akhirnya kericuhan yang dibuat serombongan anak muda itu pergi meninggalkan pulau, setelah heboh wefie dengan beragam gaya, sedikit mengganggu senjaku yang mestinya bergulir tenang...
Akhirnya kudekap lagi nikmatnya senja di pulau ini, setelah belasan tahun tiada kembali. Meski mentari yang kembali ke peraduan enggan menampakkan wajahnya, namun semburat jingga yang meninggalkan langit cukup memberiku kesempatan tersenyum, mengucap terima kasih untuk cerah hari ini...
Harusnya semua terasa sempurna, energi bahagia yang menerangi kami mestinya cukup untuk memberiku kehangatan. Namun seiring rona gelap yang mulai menyelimuti, ada kabut menggelantung di hatiku, mengiris rasa di tempat yang sulit kupahami maknanya...
Rasanya seperti RINDU...
Sebuah rindu yang tersemat dalam di lubuk hati, entah kapan kan terobati. Mewakili berbagai gulungan rasa yang bergerak tanpa mampu kusebutkan namanya, hanya satu demi satu bulir bening yang perlahan hadir menemani, mampu redakan badai rasa ini...
Andaikan dia yang kini tengah marajai hati hadir malam ini, wajah apakah yang akan dikenakannya. Akankah dia tersenyum menyaksikan kami...?
Gusti Allah yang Maha Agung, kutitipkan segenap rasa ini dalam genggamanMu, sampaikan semuanya kepada pemiliknya. Semoga bakti kami yang belum seberapa, cukup untuk menemani perjalanannya bersamaMu, hingga terang jiwanya memeluk kami dalam dekapan doa antara dua dunia...

“Allahummaghfirlaha warhamha wa 'afiha wa'fuanha...”
*Written as the darkness start to touch the earth, on one of the most unforgettable place in my life...

Catatan Perjalanan 6 : Pulau Condong

Posisinya persis di seberang Pasirnya Putih, hanya butuh sekitar 30 menit berperahu, dengan biaya 20-30 rb per kepala - tergantung tawar menawar, kami sepakat dengan 250 rb pp 6 jiwa. Biaya masuk pulau 15 rb per kepala, untuk menginap, dihitung sesuai kesepakatan dengan Nenek Pulo yang sejak 1995 menunggu pulau ini.


Biaya makan sekitar 15-25 rb per porsi di warung Nenek. Biasanya, jika kami dapat ikan, udang atau cumi dari nelayan, Nenek juga bersedia bantu masak, kita hanya perlu bayar jasa dan bahan bakar saja. Untuk urusan MCK, ada toilet umum berbayar, mereka pakai pompa air listrik yang nyala dengan generator, pemiliknya tidak tinggal di pulau. Tapi kami lebih suka Green MCK dengan pompa tangan, punya Nenek Pulo untuk yang berkemah.

Buat kami yang menginap dengan perlengkapan alakadarnya, keberadaan warung Nenek Pulo sangat menolong. Kami cukup punya tiker untuk tidur dan obat antinyamuk.
Para pengujung biasanya berdiam di bagian aman P Condong yang menghadap daratan. Sementara para petualang seperti kami akan minggir ke bagian P Condong yang lebih bersih, terasing, ekstrim tapi seru.

Pada kunjungan pertama saya sengaja tidak mempersiapkan snorkel, masker dan fins. Mengapung pakai ban dalam truk cukuplah, kami ingin anak2 menikmati wisata geografis pulau yang ekstrim dulu, sebelum menjelajah ke dalam laut. Selain anak2 belum jago berenang, kami belum berani ambil resiko ajak anak2 skin diving di tubir, butuh sekian bab underwater safety training.
 We have next time plan, of course...

*Written as we enjoy the morning sun, walking towards our favorite secluded part of the island, today we play with the wave and learn how to maintain the balance around marine nature...

Catatan Perjalanan 7 (Selesai) : Pulaaaang...!!!

Setelah 48 jam di Pasir Putih yang cerah, tanpa hujan semenit pun, kami semua memutuskan untuk pulang. Meski sedianya ada rencana Emak dan anak2 lanjut ke Bandar Lampung, Ayah balik Jakarta karena liburnya habis, tapi ternyata kondisi dan situasi kurang memungkinkan. Energi mental dan spiritual memang membuncah, namun secara fisik kami semua sudah cukup lelah, jadi tidak ada yang tertarik untuk melanjutkan perjalanan.

Perjalanan Bus Pasir Putih - Bakauheni masuk kategori lumayan nestapa karena harus berdiri dan menghisap campuran aroma asap rokok dan duren, ditambah macet satu jam lebih di beberapa kilometer terakhir. Untunglah anak2 survive dan masih bisa mentertawakan pengalaman sedih mereka, ketika turun di Bakauheni.

Begitulah backpacker kadang kita terpaksa mengalami salah perhitungan yang beresiko turunnya kenyamanan. Dunia kadang memang ga adil untuk para petualang, namun bersyukur Gusti Allah Maha Adil, kami dapat kapal yang luar biasa nyaman. Baru kali ini kami dapat Ferry yang sangat memanusiakan manusia. Meski tiket yang kami bayar hanya 15 ribu saja, SOP mereka sangat ramah dan menyenangkan. Namanya KM Mustika Kencana

Kami dapat dek lesehan dengan semacam ranjang bersekat yang memiliki jok untuk bantal. Begitupun fasilitas hiburan dan kantinnya yang menurut anak2 lumayan kumplit, ada area pijet segala. Emak n ayahnya mah ga tertarik inspeksi kapal, habis dinner yang alhamdulillah murah meriah, kami langsung PW dan bablas ke alam mimpi. Ternyata pas emak bangun sebentar anak2 juga dah tidur semua.

Persis jam 11 malam, kami mendarat di Merak, entah pelihara naga di sebelah mana, eh turun dari Ferry mereka minta makan lagi. Persis jam 12 kami naik Bus OTW Jakarta, dengan tiket 35 rb kelas AC VIP, kursi jejer dua2.

Alhamdulillah kelar sudah perjalanan akhir tahun ini. Walaupun cuma berhasil nambah pengalaman 48 jam di pesisir dan pulau, kami berharap yang sedikit ini cukup memberi arti. Pengalaman yang bermakna sejatinya adalah harta tak tergantikan, dalam upaya memberi dampak permanen di kehidupan jangka panjang anak2.

Berharap kalian tumbuh menjadi manusia utuh yang berhasil menyelaraskan kehidupan di semestanya, lewat peran aktif membangun generasi yang mampu mengapresiasi alam tempatnya bergerak, tumbuh dan berkembang...
Semoga...

*Written on the bus that brings us back to Reality...
 

0 komentar:

Posting Komentar