Kamis, 01 Oktober 2015

“SEKOLAH DASAR” BUKAN LAGI “TAMAN” TETAPI BERPOTENSI MENJADI “HUTAN RIMBA”


“SEKOLAH DASAR” BUKAN LAGI “TAMAN” TETAPI BERPOTENSI MENJADI “HUTAN RIMBA”

 Oleh : Raden Ridwan Hasan Saputra
Penulis adalah Wakil Ketua Korps Menwa IPB, Pendiri dan Presiden Direktur Klinik Pendidikan MIPA (KPM) dan pelatih Olimpiade Matematika Internasional.

Bogorplus.com – Ada sebuah berita sangat memprihatinkan berdasarkan berita dari Detiknews (28/9/2015). Diberitakan seorang siswi dari Aceh Besar yang masih duduk di kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah meninggal dunia akibat dikeroyok oleh 6 orang teman laki-lakinya. Kejadian ini sulit diterima oleh akal sehat bagi kita yang pernah bersekolah SD di era tahun 80-an ke bawah. Kejadian-kejadian yang sudah dalam kategori tidak wajar dalam hal yang negatif sudah banyak terjadi di kalangan anak SD saat ini, seperti pembunuhan, pencabulan, narkoba, tawuran dll. Sudah jadi bukti  nyata bahwa Sekolah Dasar saat ini banyak yang sudah bukan menjadi taman tempat anak-anak bermain, seperti yang diisyaratkan oleh Ki Hajar Dewantara. Sekolah Dasar saat ini seperti hutan rimba, dimana anak bisa belajar hal-hal yang negatif dari mulai bahasa yang kasar dan tindakan yang brutal, yang akhirnya bahasa dan tindakan tersebut  bisa  menjadikan anak sebagai pemangsa atau dimangsa oleh anak yang lain.

Kita tidak bisa bayangkan hal negatif apa  yang akan mereka lakukan ketika mereka di SMP, SMA, Perguruan Tinggi dan setelah menjadi orang tua. Sebab hal-hal negatif  yang mereka lakukan di waktu SD sama sekali tidak pernah terbayangkan akan dilakukan oleh anak SD. Oleh karena itu harus dicari penyebab dan diberikan solusi agar kejadian-kejadian negatif tersebut tidak terjadi lagi. Berikut ini saya sampaikan penyebab dan solusi dari masalah di atas berdasarkan pengalaman, pengamatan dan perenungan yang saya lakukan sebagai orang yang sering berkecimpung di dunia SD khususnya dalam bidang Matematika.

Pendidikan di Indonesia saat ini lebih fokus pada Pengetahuan (Ilmu) bukan Adab atau Budi Pekerti
Ketika saya di bangku Sekolah Dasar, Hal yang lebih sering dipelajari di kelas oleh murid-murid adalah bagaimana seorang murid menghormati  guru, berbuat baik dengan teman, memelihara kebersihan, mengantri dll yang lebih pada pembentukan budi pekerti. Saya masih ingat ketika di SD, sebelum masuk kelas harus berbaris terlebih dahulu di luar kelas, kemudian masuk satu persatu ke dalam kelas dan mencium tangan guru. Setiap minggu ibu guru atau bapak guru selalu memeriksa kuku-kuku siswanya dan banyak anak yang tangannya dipukul menggunakan penggaris karena lupa menggunting kuku. Pada waktu itu banyak anak  SD yang ketika masuk SD  tidak bisa membaca dan menulis. Sekolah SD pada waktu itu, mempunyai tempat yang luas untuk bermain berbagai aneka macam permainan. Sehingga dalam pemikiran saya waktu itu, ke sekolah adalah untuk bermain bersama teman-teman, belajar adalah nomor dua. Pada masa itu pun, ibu guru atau bapak guru lebih suka anak yang mempunyai budi pekerti  yang baik dan lebih disukai lagi  anak  yang mempunya budi pekerti yang baik dan rajin belajar.  Sehingga kami sebagai muridnya berlomba-lomba untuk menjadi anak yang mempunyai budi pekerti yang baik dan rajin belajar setelah bermain seharian penuh.

Pada masa sekarang ilmu lebih penting dari pada adab atau budi pekerti. Siswa SD saat ini sudah disibukkan dengan mengikuti berbagai kursus dari mulai kursus matematika, kursus bahasa inggris, kursus musik dll. Kegiatan anak-anak SD saat ini kebanyakan hanya belajar, belajar dan belajar. Jika ada waktu bermain, yang dilakukan adalah bermain game  komputer atau online. Jarang sekali bermain yang dilakukan dengan cara berinterakasi, bersenda gurau dengan teman sebayanya.  Saat ini banyak orang tua yang menganggap teman anaknya adalah saingan anaknya dalam meraih prestasi.  Sehingga interaksi yang terjadi sudah tidak dalam pertemanan tetapi persaingan. Kondisi ini membuat anak lupa sopan santun, tata krama dan budi pekerti. Solusi yang dilakukan adalah merubah kurikulum pendidikan nasional untuk Sekolah Dasar, yang awalnya lebih pada target penguasaan ilmu menjadi target internalisasi adab atau budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari. Di Sekolah Dasar lebih banyak praktek penerapakan budi pekerti yang baik daripada belajar materi pelajaran matematika, komputer, IPA dan bahasa asing. Oleh karena itu, di SD tidak boleh ada anak yang tidak naik kelas selama anak tersebut mempunyai adab atau budi pekerti yang baik.

Mayoritas kualitas Guru SD masih memprihatinkan
 Saya adalah Pelatih Nasional Olimpiade Matematika untuk SD dan SMP. Jabatan ini telah membuat saya mempunyai tugas tambahan yaitu melatih guru tentang matematika khususnya di tingkat SD. Sudah belasan ribu guru dari berbagai wilayah di Indoenesia yang saya latih dalam kurun waktu  12 tahun. Banyak hal yang memprihatinkan tentang guru-guru SD saat ini berdasarkan pengalaman saya melatih. Hal yang memprihatinkan ini dari sisi kecerdasan intelektualnya, motivasinya menjadi guru dan mentalnya sebagai seorang guru. keprihatinan saya ini, sebagian sudah terbukti sesuai dengan informasi yang disampaikan oleh Direktur Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Sumarna Surapranata, sebagaimana yang diberitakan situs kemdikbud.go.id (9/10/2015). Beliau menyampaikan pemerintah telah memiliki potret Uji Kompetensi Guru (UKG) terhadap 1,6 juta guru. Dari jumlah tersebut menurut beliau, hanya 192 orang yang kompetensinya di atas 90 dan rata-rata nilai UKG nya 4,7. Berdasarakan informasi tersebut kondisi guru Indonesia sangat memprihatinkan dan hampir dipastikan kualitas terparah ada di guru SD. Sehingga sangatlah wajar jika semakin hari kualitas dan prilaku anak-anak SD semakin banyak yang tidak karuan, karena kualitas guru-guru yang kategorinya memprihatinkan dan banyak tersebar di seluruh indonesia.

Solusi yang harus dilakukan menurut saya adalah dengan memfokuskan pembinaan mental, budi pekerti dan penanaman keimanan sesuai agama masing-masing kepada guru-guru SD yang ada saat ini. Hal ini agar guru-guru SD bisa mempunyai motivasi yang baik dalam menjalankan profesinya sebagai guru dan bisa mempunyai mental yang cocok sebagai seorang guru. Perubahan motivasi dan perilaku guru dalam mengajar akan sangat mendukung proses internalisasi adab dan budi pekerti kepada siswa dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu secara bertahap pemerintah harus mengganti guru-guru yang mulai pensiun dengan orang-orang muda potensial yang bukan lulusan nonkependidikan yang mempunyai kemampuan yang bagus. Orang-orang muda potensial ini harus diutamakan untuk mengajar di daerah (3T) Terdepan, Terluar dan Tertinggal. Guru-guru potensial yang mengajar di daerah (3T) harus diberi gaji yang sangat memadai dan jauh lebih besar dari guru-guru biasanya.

Pengaruh “sinetron-sinetron” (tayangan) TV yang merusak generasi muda
Pendapat ini tentulah akan disetujui oleh banyak pihak, karena tayangan TV selama ini terutama sinetron-sinetronya telah memberi andil  yang sangat besar dalam kerusakan moral anak bangsa. Saat ini para pemilik TV banyak mengejar rating demi mengumpulkan banyak keuntungan materi walaupun harus mengorbankan generasi muda. Tayangan-tayangan yang kurang baik di TV membentuk suatu kebiasaan baru dan akhirnya budaya baru yang tidak baik di masyarakat yang sebelumnya tidak ada. Budaya buruk ini menjadi suatu karakter bagi anak-anak yang belum mempunyai filter yang kuat untuk memilih hal yang baik atau yang buruk.

Solusi yang saya diberikan pemerintah harus melakukan pengawasan ketat terhadap tayangan TV di Indonesia dan langsung menghentikan ijin TV-TV yang melakukan siaran yang melanggar aturan yang berlaku. Pemerintah tidak perlu mengkhawatirkan akan berkurangnya pemasukan dari pajak yang biasa diberikan oleh perusahaan-perusahaan yang mengelola TV, karena pemerintah bisa memberikan ijin baru kepada perusahaan TV yang mau mengikuti aturan pemerintah. Sudah saatnya pemerintah memiliki stasiun TV yang tidak hanya TVRI. Pemerintah bisa membuat stasiun TV – Stasiun TV yang menjangkau segmen pasar yang berbeda tetapi mempunyai misi yang sama yaitu menjadikan Tontonan sebagai Tuntunan. Selain media TV pemerintah juga harus memperhatikan media online yang sudah begitu mudah di akses langsung dalam genggaman tangan anak-anak melalui gadget.

Orang tua masih ada yang kurang peduli dengan pendidikan
Saat ini banyak orang tua yang menganggap dengan mensekolahkan anaknya ke sekolah favorit dan beranggapan berarti urusan pendidikan sudah selesai. Kebanyakan orang tua juga ingin anaknya diperlakukan dengan baik, tidak boleh dimarahi dan tidak boleh dihukum. Sehingga tidak jarang ketika guru memarahi murid, yang terjadi adalah orang tua datang ke sekolah dan memarahi balik guru. Hal ini menyebabkan sekolah menjadi  kehilangan ruhnya sebagai  lembaga pendidikan. Jika orang tua peduli pendidikan maka orang tua harus mendukung pihak sekolah dan guru ketika guru memberi hukuman kepada anaknya. Di jaman saya dulu ketika ada anak dimarahi guru, kemudian orang tuanya tahu, biasanya yang terjadi adalah orang tua tersebut memarahi anaknya dan orang tua tersebut datang ke sekolah untuk meminta maaf kepada guru. Kejadian terbalik pada saat ini bisa jadi karena mulai kurang wibawa guru dikarenakan kualitas guru saat ini seperti yang saya ceritakan sebelumnya.

Solusi yang saya tawarkan untuk masalah ini adalah membuat program dimana  orang tua mengajar di kelas atau masuk ke dalam kelas untuk membantu guru mengajar di kelas. Hal ini agar orang tua paham betapa sulitnya menjadi guru sehingga timbul rasa hormat orang tua kepada guru. Hal ini pun akan memotivasi guru untuk terus meningkatkan kemampuannya agar bisa menjadi guru yang disegani oleh orang tua dan muridnya, karena punya banyak ilmu dan adab yang baik. Program ini sangat mungkin diterapkan di tingkat sekolah Dasar.

Pengaruh para “oknum pejabat” yang mempertontonkan hal yang kurang mendidik
Di era keterbukaan informasi saat ini, hampir setiap hari masyarakat disuguhkan oleh tayangan di TV atau media sosial dimana para pejabat saling mencaci dan saling menyalahkan ketika menghadapi suatu masalah. Perilaku-perilaku yang tidak baik dari para pejabat yang tidak korupsi pun banyak diekspos. Sehingga banyak orang berpikir tenyata berbicara kasar atau berperilaku tidak baik asal tidak korupsi jauh lebih baik dan akan menjadi orang sukses. Cara berpikir seperti ini sudah mulai tertanan di kalangan generasi muda, sampai ke level anak SD. Sehingga tidak jarang kita mendengar anak-anak SD sudah terbiasa dengan bahasa-bahasa kasar dan perilaku negatif yang seperti telah diceritakan sebelumnya.

Solusi yang saya berikan, sebaiknya seseorang yang akan menjadi pejabat publik seperti kepala daerah dan anggota Dewan harus mengikuti penataran sejenis P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) jaman dahulu. Setelah itu mereka harus lulus screening dan pemeriksaan fisik seperti halnya orang-orang yang ingin masuk tentara atau polisi. Hal ini perlu dilakukan jika kita ingin mempunyai generasi muda yang terpelihara mental, sikap dan perilakunya. Di alam demokrasi, memang manusia bebas melakukan apa saja, tetapi di negara yang berdasarkan pancasila kebebasan itu ada batasnya. Jangan sampai kebebasan mengorbankan masa depan bangsa.

Penutup        
Membuat Sekolah Dasar kembali menjadi "Taman" perlu dukungan semua pihak. Dimulai dari guru, lingkungan sekolah, orang tua siswa dan pemerintah. Belum ada kata terlambat untuk memperbaiki keadaan jika kita mulai dari sekarang. Jika tidak ada aksi nyata maka sekolah-sekolah dasar yang ada saat ini mayoritas akan menjadi hutan rimba belantara yang menghasilkan raja rimba yang memakan banyak korban. Sehingga kita hanya tinggal menunggu antrian kejadian-kejadian yang memilukan yang belum terjadi sebelumnya ketika kita duduk di bangku sekolah dasar.

Bogor, 29 September 2015.

Sumber : Bogor+

0 komentar:

Posting Komentar